Seribu Bintang (part II)
Zenith kembali ke kamarnya, dengan wajah pucat. Menenangkan diri agar tak tampak begitu mencurigakan ketika masuk ke kamarnya. Zenith langsung merebahkan diri ke tempat tidurnya, membelakangi ketiga orang sahabatnya yang menatap Zenith, menuntut penjelasan.
" Hai gadis muda, tidak merasa bersalah membelakangi sahabatmu, setelah kau dengan mencurigakan dipanggil oleh seseorang malam-malam begini? Coba ceritakan apa yang sedang terjadi disini? " , ujar salah satu dari mereka yang berambut pendek.
" Badanku tidak enak, sepertinya masuk angin. Aku ingin istirahat sebentar ", Zenith menjawab sambil berusaha menutupi mukanya yang kembali memerah.
" Baiklah, terserah katamu. Kau tau, kau bisa cerita kapan saja ", gadis dengan kulit kuning langsat itu berujar lembut.
Dan mereka bertiga pun melanjutkan aktivitas mereka kembali. Semuanya bergerak canggung, bersuara canggung, bersikap menghormati privasi yang mungkin sedang dibutuhkan Zenith, untuk apapun alasannya itu.
Mereka tau pasti ada sesuatu yang terjadi. Meskipun masih menjalani tahun pertama, tak butuh waktu yang lama bagi mereka, para gadis, untuk saling memahami dan mengerti kebiasaan dan suasana hati masing masing yang tak terucap lisan.
Suasana nampaknya tidak berjalan begitu baik. Angin malam terlalu dingin, menusuk masuk melalui pintu belakang yang setengah terbuka. Membuat tubuh setengah menggigil. Sekarang dagunya, mulai bergetar. Bukan, bukan karena dingin, tapi karena Zenith berusaha sekuat tenaga agar suara tangisnya tak terdengar. Sekuat tenaga agar ia tak menjerit menahan sakitnya hati yang tak bersalah itu teriris.
Tak habis pikir olehnya, kenapa ia yang dipilih. Masih terdengar jelas suara mereka, para lelaki, yang ternyata bersembunyi di belakang sosok itu, tertawa terbahak bahak. Entah karena, melihat wajah Zenith yang menganga karena kaget, atau terlalu puas karena dengan gampangnya menjaili gadis penyendiri itu.
Zenith mencoba untuk bangun dari tempat tidurnya, menyingkirkan rasa benci terhadap dirinya sendiri dan mencoba mengumpulkan motivasi untuk menyelesaikan tugas yang harus diselesaikan bersama kelompoknya.
Di depan cermin, Zenith mendapati dirinya sendiri begitu menyedihkan. Mencoba berlatih untuk tersenyum seakan ia mayat yang kembali hidup setelah mati ratusan tahun, senyumnya kaku, terlalu palsu. Ia pun mulai bersiap siap, mencuci muka agar terlihat lebih segar.
Benar saja, begitu keluar kamar, ketiga sahabat Zenith telah menunggu. Wajah mereka begitu tegang. Zenith mencoba mendekati mereka, berusaha memecahkan kaku yang mengganggu. Mencoba memberikan sinar, seperti bintang yang benderang di atas kepala mereka saat itu, berusaha agar mereka bisa tersenyum bebas bersama. Cukup Zenith yang tau rasa sakit itu sendiri.
Dan ketika mereka berjalan melewati beberapa kelompok siswa, terdengar bisikan seperti makian di teling mereka berempat.
" Itu dia si Zenith, objek taruhan senior kita, Nadir "
Dan kabar itu menyebar seperti wabah.
Komentar
Posting Komentar