Seribu Bintang (part III)
“Jangan
pernah nge- judge seseorang, jika kau tak tau apa yang pernah dilaluinya.” Itu adalah
kata-kata bijak yang pernah Zenith dengar di suatu tempat, dan ia akan sangat
bersyukur jika orang-orang disekitarnya bisa menerapkan nasihat ini. Hari-hari
belakangan ini berjalan sangat lambat dari yang dia inginkan. Dan parahnya, semua
kejadian disekitarnya membuat Zenith merasa lebih baik ditelantarkan dunia ;-
seperti sebelum-sebelumnya; daripada menderita menerima pandangan-pandangan
aneh pada dirinya dari berbagai teman, bahkan senior-seniornya, yang tak
benar-benar mengenalnya, yah, tak ada yang benar-benar mengenalnya.
Dia tidak habis pikir, bagaimana
bisa semua orang tak henti-hentinya mencuri pandang ke arahnya. Seperti segerombolan
senior di depannya yang sama-sama mengantri makan siang, mereka berulang kali
bergantian menoleh kepada Zenith, pertama-tama kakinya, lalu mereka melirik
bukunya, dan kemudian rambutnya, sungguh tak ada yang salah dengan diri Zenith,
dia tidak memakai kaus kaki yang berwarna norak, sepatunya juga ukurannya sama
kiri dan kanan, bukunya juga tidak aneh ; oke buku ini sedikit aneh karena buku
ini buku sastra tua yang baru saja dipinjamnya di perpustakaan, yang penting
dia tidak mencuri buku itu kan?, dan rambutnya juga baik-baik saja, meskipun
beberapa rambut nakal mencuat disana-sini. Oh, dan lihat tatapan itu, dari temannya di sudut ruangan,
jelas sekali tatapan itu sedang menginterogasi dan seakan-akan sanggup
memvonisnya hukuman penjara. Zenith ingin sekali mengatakan kepada semua orang
yang sanggup melihatnya, bahwa cerita apapun yang mereka dengar tentang
dirinya, mereka harus ingat bahwa Zenith adalah korban disini.
Zenith sepenuhnya tidak mengerti apa
yang dipikirkan oleh orang-orang itu tentang dirinya. Yang pasti dia tidak akan
keluar dari tempat itu sebelum mendapatkan menu makan siang pesanannya.
Meskipun tersiksa dengan tatapan itu, Zenith keluar dengan tatapan lurus
kedepan, dengan roti panggang isi daging cincang di tangan kanan, dan buku tua
itu di tangan kirinya.
Sungguh melelahkan sekali. Hidupnya sebagai
Zenith yang damai dengan tak ada seorang pun yang biasanya memperhatikan
keberadaanya, kecuali tentu saja teman-teman sekamarnya, dan sesama pengunjung
setia perpustakaan, beberapa hari ini harus tersiksa menerima mata-mata yang
terus mendelik padanya, seolah bertanya apa yang dia lakukan sehingga menjadi
objek taruhan? Pertanyaan itu juga sempat berada di kepala Zenith beberapa hari
ini, dan dia berkesimpulan bahwa, pasti dia telah melakukan sesuatu yang sangat
buruk di masa lalu, dan sebagai karmanya sekarang mendapatkan ganjaran ini. Kadang
Zenith berpikir, jika yang dia lakukan di masa lalu benar-benar buruk, rasanya
akan lebih baik dia reinkarnasi menjadi kodok saja, setidaknya dia akan dengan
senang hati bersembunyi dalam tempurungnya selama berminggu-minggu.
Dengan kepala penuh pikiran dan
seonggok pertanyaan baru, Zenith melintasi beberapa kelas -; yang kesemua mata
di dalam kelas itu menoleh kepadanya; lalu memotong jalan dengan melewati taman
bougenville di sebelan kanannya, dan akhirnya sampai di ruang kelasnya sendiri.
Zenith duduk diam dikursinya,
disudut kiri dekat jendela yang lumayan besar, dan mencoba mulai memakan menu
makan siangnya yag biasanya dilahapnya dengan bergairah. Di ruang kelasnya
sendiri, barulah Zenith merasa sedikit tenang, teman-teman sekelasnya tidak
merecokinya dengan tatapan-tatapan yang tak bisa diartikan dengan jelas itu,
walaupun Zenith tahu, pastilah teman-teman sekamarnya yang telah mengancam
mereka semua agar tak mengganggunya.
“Zenith, kau mau ke perpustakaan? Kami
bertiga akan ke perpustakaan. Ayo!” ajak teman sekamarnya yang berambut pendek.
Mata coklat besarnya yang seperti kucing menatap Zenith bersemangat. “Baiklah”,
ujar Zenith yang sangat paham mengapa teman-teman sekamarnya itu mau ke
perpustakaan. Mereka mendengar bahwa si penjaga perpustakaan ternyata bisa
membaca kepribadian lewat tandatangan, dan memberikan masukan tentang minat dan
bakat mereka. Zenith tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu, dia akan lebih
bahagia membaca ensiklopedi yang bertebaran di sana.
Mereka berempat akhirnya berjalan
menuju perpustakaan. Zenith menjadi lebih lega, karena berjalan bersama
teman-temannya ini membuat dirinya lumayan tertutupi sehingga tidak ada orang
yang memandangnya dengan tampang kasihan lagi. Zenith terus berjalan tanpa
menyadari bahwa ada orang yang sedang menatap langkahnya.
Zenith betul-betul tidak menyadari
bahwa sosok tersebut menghentikan seluruh aktivitas yang dia lakukan sebelumnya
dan menatap lekat lekat pada Zenith sampai punggung Zenith hilang dari
pandangannya. Butuh beberapa saat ketika akhirnya sosok itu meletakkan gitar
yang baru saja akan dimainkannya, berjingkat sedikit, dan dengan sangat
perlahan menjauh dari kumpulan teman-temannya, dan berjalan perlahan dengan
tujuan perpustakaan. Nadir yakin benar bahwa dia harus berbicara sesuatu pada
Zenith.
“Sial, penjaga perpustakaan tidak
hadir. Tampaknya sekarang sedang musim flu ya. Huh, kesal!!” keluh teman Zenith
yang bertubuh tambun itu. “Lebih baik kita kembali ke kamar saja yuk, kita bisa
membuat teh sebelum pelajaran musik sore ini dimulai, hitung-hitung untuk
mengurangi rasa kesalku, aku sudah menantikan saat-saat ini. Ayo Zenith!”
lanjutnya lagi.
Zenith sebenarnya ingin tinggal lebih lama di perpustakaan ini. Entah kenapa
dia berharap buku-buku yang banyak ini dapat menjelaskan pada dirinya apa yang
tengah menimpanya kini. Namun tentu saja itu mustahil. Dan Zenith menurut saja
ketika temannya telah menarik tangannya tidak sabaran untuk meninggalkan gedung
itu.
Mereka kembali ke kamarnya.
Komentar
Posting Komentar