Nanti Kita Cerita Tentang 2020 Ini!

Source : Matt Ridley via Unsplash

Jadi belakangan ini, during - after lebaran until today, mood udah seperti bukit Barisan, naik turun tidak karuan. Beberapa hari penuh semangat dan harapan, produktif dan ceria. Tapi di hari lain gloomy, sendu, emosional, selalu di batas akhir pokoknya, di ujung kesedihan atau di puncak kemarahan.

Kalau udah super negatif seperti itu, after effect nya pasti selalu merasa bersalah. Dapet privilige untuk WFH dengan gaji tetap ada, makan minum tempat tinggal cukup, kayak apa lagi yang kurang gitu malu sama tenaga kesehatan di luar sana.

Sampai akhirnya, ngeliat postingan psikolog namanya dr. Julie Smith via Tiktok (yess I’m a Tiktok user yall), dan video dr. Daniel Amen di Youtube (psikolog nya Justin Bieber nih), yang kasih pencerahan kalau sebenarnya perasaan galau dan susah kita selama karantina itu sangat wajar dan valid, dan kita ga boleh terlalu keras sama diri sendiri, biarkan aja perasaan itu ada, ackowledge it. Mereka juga share kalau yang kita rasakan ga cuma stress aja, tapi bisa jadi didonimasi oleh rasa takut, ketidakpastian kapan pandemi ini akan berakhir. Dan statement yang paling mantap adalah, We’re trying to Survive this pandemi. Survive this pandemi. Big Gratitude untuk kedua dokter ini, mood yang kacau akan tetap kacau, tapi setidaknya ketahuan pangkal cerita nya dimana, dan setidaknya ada motivasi untuk me-manage nya :)

Banyak juga yang memaknai survive dari pandemi ini adalah bagian yang akan menjadi timeframe yang penting di sejarah manusia. Status pandemi terakhir kali ditetapkan oleh WHO adalah pandemi flu 2009 atau lebih familiar dengan nama flu babi. Namun dengan skala Covid-19 saat ini, banyak yang membandingkannya dengan pandemi flu 1920 atau lebih dikenal dengan flu Spanyol, yang di klaim mortality rate nya lebih tinggi dari Perang Dunia 1. Artinya, kita itu sedang hidup di rentang waktu yang berpuluh tahun kemudian akan dijelaskan dan diceritakan kembali di buku sejarah dan buku biologi di seluruh institusi pendidikan. So, Cheers 😁

Bayangkan, kalau survive dari pandemi ini, lalu 15 tahun kemudian : tahun 2035, saat Bilal (my nephew) udah SMP, lalu dia tanya gimana caranya bisa survive di tahun 2020, apakah di 2020 ada listrik bisa internetan juga kah saat karantina, kerjanya gimana, makannya apa, kenapa ketika pandemi masih ada yang demo di US sana? Jawaban nya mau mulai dari mana ya Bilal? Dari awal tahun 2020 saat Australia kebakaran dan ribuan hewan mati tapi banjir paling besar di Jakarta tapi Mina (I’m Mina for him) malah lagi di Banyuwangi? Atau langsung ke bulan Juli, saat negara lain kurva nya sudah turun, tapi di Indonesia malah naik gara-gara masyarakatnya ga disiplin dan budget pemerintah malahan dipakai untuk sewa buzzer? 

Survive di 2020, akan banyak banget ceritanya, versi nya : the rising of Tiktok, self taught chef, DIY master. Tapi survive di 2020 juga artinya karantina mandiri, lebaran sepi, social distancing, homesick, dan virtual meeting only. Masih akan ada cerita-cerita lainnya tentang 2020 ini, karena semua episodenya masih tayang dan vaksin nya belum ada, per hari ini 😊 




Notes :
Pada tahun 2015, WHO sudah mengeluarkan aturan penamaan penyakit manusia, diantaranya adalah tidak boleh menggunakan nama negara atau ras tertentu, dan tidak boleh menggunakan nama hewan. Penyebutan kedua nama penyakit di atas masih belum sesuai dengan aturan untuk mempermudah pemahaman. Harap maklum, ini blog bukan jurnal, usaha riset hanya 1% huhu sudah malam. Sumber National Geographic Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Haru-Haru

Sabtu Pagi

It's The End of An Era